Lontar


Lontar Sundarigama adalah lontar yang bersifat filosofis-religius karena mendeskripsikan norma-norma, gagasan, perilaku, dan tindakan keagamaan, serta jenis-jenis sesajen persembahan atau yadnya yang patut dibuat pada saat merayakan hari-hari suci umat Hindu Bali, mengajarkan kepada umatnya untuk berpegang kepada hari-hari suci berdasarkan,
dengan mempergunakan benda-benda suci / yang disucikan seperti api, air, kembang, bebantenan disertai kesucian pikiran terutama dalam mencapai tujuan yang bahagia lahir bathin (moksartam jagadhita) berdasarkan agama yang dianutnya.
Teks Sundarigama merupakan penuntun dan pedoman tentang tata cara perayaan hari-hari suci Hindu yang meliputi aspek
  • tattwa (filosofis), 
  • susila, dan 
  • upacara/upakara.

Lontar Sundarigama dengan teks asli berbahasa kawi, yang disebutkan termasuk kedalam lontar kemoksan dan tidak hanya mendeskripsikan hari-hari suci menurut perhitungan bulan (purnama atau tilem) atau pun pawukon serta jenis-jenis upakara yang patut dibuat umat Hindu pada saat merayakan hari-hari suci tersebut, tetapi juga menjelaskan tujuan bahkan makna perayaan hari-hari suci tersebut. 
Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan dan makna perayaan hari-hari suci umat Hindu menurut Lontar Sundarigama adalah menjaga keseimbangan dan keharmonisan

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umat Hindu Bali melakukan upacara agama adalah dari dan untuk keselamatan alam semesta beserta seluruh isinya.
***
Lontar Siwa Sasana

Lontar Siwa Sasana adalah merupakan acuan untuk lontar kesulinggihan di Bali, seperti kutipan penjelasan Brahmana Sapinda. Sebagai tambahan, dari sumber Salinan Lontar SIWA SASANA & Terjemahan Bahasa Indonesia « Dharmavada, dijelaskan pula bahwa sebutan,

Tuhan adalah "Bhatara Siwa", dan 
Bhatara Siwa adalah Sanghyang Widhi itu sendiri. 

Dan lontar ini merupakan pedoman bagi para Pandita (sulinggih) yang berasal dari Hindu Siwa.

Bhatara Siwa dipuja sebagai Trimurti (Brahma, Wisnu dan Iswara) dan juga sebagai Panca Brahma.

Ajaran Ketuhanan seperti ini direalisasikan dalam membangun merajan, sanggah, pura, banten, puja dan sebagainya.

Padma Tiga di Pura Besakih, gedong di pura, sanggah kemulan merupakan tempat memuja Bhatara Siwa baik sebagai Tri Murti atau Pitara sebagai wujud Bhatara Siwa.

Jelas bahwa tawur, bagia pula kerti dan sebagainya merupakan banten yang diilhami oleh konsep Ketuhanan sebagai Dewata Nawa Sangha. Pujapun demikian. Sebagian besar puja (demikian pula saa) ditujukan kepada Bhatara Siwa dalam berbagai manifestasinya.

Di dalam Siwa Sasana disebutkan adanya “paksa-paksa (sekte)”- Saiwa yaitu Siwa Siddhanta, Waisnawa, Pasupata, Lepaka, Canaka, Ratnahara dan Sambhu.

Dalam Siwa Sasana penggunaan kata-kata sadhaka dang upadhyaya sering benar, kadang-kadang berselang-seling. Semuanya menunjuk pada seseorang yang melaksanakan hidup kerohanian sebagai pandita. Acarya dan dang upadhyaya lebih cenderung berarti seorang pandita guru.

Disamping itu ada pandita yang disebut dang acarya wrddha pandita, sriguru pata, dang upadhyaya pita maha, prapita maha, dan bhagawanta yang masing-masing berarti pandita guru yang agung, guru yang mulia yang senang membaca, kakek guru, kakek yan agung, dan bhagawan. Perbedaan diantara para pandita tersebut dalam Siwa Sasana tidak dijelaskan.

Kepada mereka itulah Siwa Sasana ini ditunjukan untuk dilaksanakan dengan tujuan agar mereka dapat mempertahankan martabatnya sebagai Pandita, dan menegakkan ajaran dharma. Suatu uraian yang panjang dalam lontar ini ialah uraian tentang syarat-syarat seorang acarya yang dapat dijadikan guru dan yang harus dihindari sebagai guru.
***